Serangan Nuklir Iran: Benarkah Akan Jadi Chernobyl Kedua?
Sumber: Liputan6.com

Pemerintah Iran telah mengkonfirmasi serangan terhadap tiga fasilitas nuklir utama mereka: Fordow, Isfahan, dan Natanz. Serangan yang diduga dilakukan Amerika Serikat ini menggunakan bom berdaya ledak 13 ton, salah satu yang terbesar di dunia, yang menghantam fasilitas yang terletak hampir 100 meter di bawah tanah.

Kejadian ini memicu kekhawatiran global akan potensi dampaknya, mengingat insiden di pembangkit listrik tenaga nuklir Fukushima, Jepang, dan Chernobyl. Namun, para ahli meyakinkan bahwa dampaknya tak akan separah dua kejadian tersebut.

Bukan Chernobyl Kedua: Analisis Ahli

Meskipun serangan tersebut tidak menargetkan reaktor nuklir aktif, kekhawatiran akan dampaknya tetap beredar luas. Namun, Profesor Pete Bryant, ahli perlindungan radiasi dari University of Liverpool, menjelaskan bahwa fasilitas pengayaan uranium di Iran berbeda.

Fasilitas-fasilitas ini tidak memiliki reaktor nuklir, tidak menyimpan limbah radioaktif tingkat tinggi, dan tidak dirancang untuk menghasilkan listrik. Oleh karena itu, potensi ledakan atau pelelehan seperti di Chernobyl sangat kecil kemungkinannya.

Risiko Terbatas, Namun Tidak Tanpa Bahaya

Ketiga fasilitas yang diserang memang memproses uranium, namun dalam jumlah dan tingkat rendah. Uranium yang digunakan memancarkan partikel alfa yang lemah, tidak mampu menembus kulit manusia.

Bahaya utamanya justru terletak pada potensi paparan kimia. Uranium heksafluorida (UF6), jika terkena udara dan kelembaban, dapat membentuk senyawa beracun seperti Uranyl Fluoride dan Hydrofluoric Acid. Kedua senyawa ini sangat korosif dan berbahaya jika terhirup.

Potensi Kontaminasi

Meskipun demikian, Profesor Bryant meyakini bahwa bahkan jika terjadi kebocoran internal, kontaminasi kemungkinan besar akan tetap terlokalisir. Hal ini terutama berlaku untuk fasilitas bawah tanah seperti Fordow, yang dilindungi oleh lapisan batuan setebal 80 hingga 90 meter.

Dampak Lingkungan Jangka Panjang

Walaupun risiko radiasi relatif kecil, dampak lingkungan dari ledakan tetap menjadi perhatian serius. Profesor Timothy Mousseau, pakar efek radiasi terhadap ekosistem dari University of South Carolina, memperingatkan tentang potensi dampak ekologis jangka panjang.

Bahan bakar nuklir bersifat radioaktif dan toksik secara kimia. Jika tersebar, dampaknya bisa bertahan hingga ribuan tahun, mengingat paruh waktu peluruhan uranium-235 lebih dari 700 juta tahun dan plutonium-239 sekitar 24.000 tahun.

Meskipun demikian, hingga saat ini IAEA (Badan Energi Atom Internasional) melalui Direktur Jenderal Mariano Grossi mengkonfirmasi bahwa otoritas Iran melaporkan tidak ada peningkatan kadar radiasi di luar fasilitas yang diserang. Situasi tetap dipantau secara ketat.

Kesimpulannya, sementara serangan terhadap fasilitas nuklir Iran menimbulkan kekhawatiran, para ahli menekankan bahwa dampaknya kemungkinan besar tidak akan sebesar bencana Chernobyl atau Fukushima. Namun, potensi bahaya kimia dan dampak lingkungan jangka panjang tetap menjadi perhatian yang perlu dikaji lebih lanjut. Pemantauan ketat terhadap kondisi lingkungan di sekitar lokasi serangan sangat penting untuk memastikan keselamatan dan kesehatan masyarakat.

Bagikan:

Tags:

Leave a Comment