Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2024 (PP 28/2024) yang merupakan peraturan pelaksanaan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan, menuai kontroversi di kalangan pengusaha ritel. Beberapa pasal dalam PP tersebut, khususnya terkait larangan penjualan rokok dalam radius 200 meter dari satuan pendidikan dan tempat bermain anak, menimbulkan kebingungan dan dianggap tidak jelas.

Para pelaku usaha mengaku telah menerapkan aturan larangan penjualan rokok kepada anak di bawah 21 tahun. Namun, aturan radius 200 meter ini dinilai menimbulkan ketidakpastian dan potensi permasalahan baru bagi bisnis mereka.

Kebingungan Pelaku Usaha Ritel terhadap PP 28/2024

Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo), Solihin, menyatakan kekecewaannya karena PP 28/2024 disusun tanpa melibatkan para pemangku kepentingan, termasuk Aprindo sendiri.

Solihin mengungkapkan adanya kekhawatiran akan tebang pilih dalam penerapan aturan ini. Beberapa ritel modern bahkan telah didatangi petugas yang dikhawatirkan hanya mencari kesalahan. Kurangnya edukasi dari pemerintah juga menjadi masalah.

Sebagai respons, Aprindo berencana mengajukan judicial review terhadap pasal yang dianggap bermasalah. Mereka berharap adanya penyesuaian dalam peraturan pelaksanaan berdasarkan masukan dari pengusaha ritel.

Potensi Munculnya Rokok Ilegal

Budihardjo Iduansjah, Ketua Umum Himpunan Peritel dan Penyewa Pusat Perbelanjaan Indonesia (Hippindo), mengungkapkan kekhawatiran akan maraknya rokok ilegal akibat larangan penjualan rokok dalam radius 200 meter dari sekolah.

Ia menjelaskan bahwa jika rokok legal tidak tersedia di sekitar sekolah, maka rokok ilegal akan mudah beredar dan sulit dikontrol. Hal ini tentunya merugikan negara dari sisi penerimaan pajak.

Dampak Negatif terhadap Ekonomi Nasional

Benny Wachjudi, Ketua Gabungan Produsen Rokok Putih Indonesia (Gaprindo), mengungkapkan kekhawatirannya terhadap dampak negatif PP 28/2024 terhadap pertumbuhan ekonomi.

Ia menekankan pentingnya mempertimbangkan ratusan ribu tenaga kerja yang bergantung pada industri tembakau, termasuk petani dan buruh. Kontribusi cukai hasil tembakau yang mencapai lebih dari Rp 200 triliun per tahun juga menjadi pertimbangan penting.

Benny menjelaskan bahwa Indonesia berbeda dengan negara lain karena memiliki kebun tembakau, industri pengolahan, dan pemerintah yang masih membutuhkan industri tembakau. Dengan menghilangkan industri tembakau, pertumbuhan ekonomi 8% yang ditargetkan Presiden Prabowo Subianto dikhawatirkan tidak akan tercapai.

Gaprindo mendukung rencana judicial review terhadap PP 28/2024. Hal ini dikarenakan ketidakpastian hukum yang ditimbulkan berdampak langsung pada para pedagang dan industri tembakau secara keseluruhan.

Ketidakpastian hukum yang ditimbulkan oleh PP 28/2024 menyebabkan kekhawatiran akan terhambatnya pertumbuhan ekonomi dan munculnya rokok ilegal. Langkah judicial review yang direncanakan oleh asosiasi pengusaha ritel dan produsen rokok diharapkan dapat memberikan solusi yang lebih komprehensif dan mempertimbangkan berbagai aspek, termasuk dampak sosial dan ekonomi.

Bagikan:

Tags:

Leave a Comment