Kemiskinan struktural merupakan tantangan serius bagi banyak negara berkembang, termasuk Indonesia. Kondisi ini menggambarkan jebakan sistemik yang membuat individu sulit keluar dari lingkaran kemiskinan. Faktor-faktor mendalam seperti kebijakan ekonomi yang tidak adil dan ketidaksetaraan akses sumber daya menjadi akar masalahnya.
Presiden Asosiasi Serikat Pekerja Indonesia (Aspek Indonesia), Mirah Sumirat, menyoroti rendahnya kesejahteraan buruh sebagai salah satu penyebab utama kemiskinan struktural di Indonesia. Upah yang rendah berdampak luas, tidak hanya pada kesejahteraan buruh itu sendiri, tetapi juga pada akses pendidikan dan kesehatan anak-anak mereka.
Upah Buruh Rendah: Akses Pendidikan dan Kesehatan Terbatas
Rendahnya upah buruh mengakibatkan kesulitan mendapatkan pendidikan yang layak bagi anak-anak mereka. Mirah menjelaskan betapa sulitnya bagi para pekerja dengan penghasilan minim untuk membiayai pendidikan tinggi anak-anak mereka.
Akibatnya, banyak pekerja buruh di Indonesia hanya memiliki pendidikan SD atau SMP. Ini mencerminkan siklus kemiskinan yang sulit diputus.
Minimnya pendapatan juga berdampak pada akses layanan kesehatan. Meskipun ada BPJS Kesehatan, persyaratan untuk mendapatkan bantuan iuran (PBI) sangat ketat.
Banyak buruh kesulitan membayar iuran BPJS dan akses obat-obatan pun terhambat. Kondisi kesehatan yang buruk semakin memperparah kesulitan ekonomi mereka. Mereka juga seringkali tidak mendapatkan bantuan sosial (bansos).
Faktor Penyebab Kemiskinan Struktural di Indonesia
Ekonom sekaligus Direktur CELIOS, Bhima Yudistira, mengidentifikasi empat faktor utama penyebab kemiskinan struktural di Indonesia. Pertama, konsentrasi kekayaan yang ekstrem di tangan segelintir orang.
Data Celios menunjukkan kekayaan 50 orang terkaya setara dengan kekayaan 50 juta orang lainnya. Ketimpangan ini memperburuk kemiskinan struktural karena sumber daya ekonomi tidak merata.
Kedua, korupsi yang merajalela, terutama dalam anggaran infrastruktur dan perlindungan sosial. Dana yang seharusnya untuk membantu masyarakat miskin justru diselewengkan.
Ketiga, merosotnya meritokrasi. Pendidikan tinggi tidak menjamin seseorang keluar dari kemiskinan karena banyaknya praktik nepotisme dalam dunia kerja.
Terakhir, redistribusi kekayaan yang tidak efektif. Indonesia belum memiliki regulasi pajak kekayaan (wealth tax) yang memadai. Regulasi untuk mencegah spekulasi tanah juga masih lemah.
Tantangan dan Solusi Mengatasi Kemiskinan Struktural
Bhima Yudistira menilai, Indonesia belum optimal dalam mengatasi kemiskinan struktural. Diskriminasi usia kerja membuat korban PHK sulit mendapatkan pekerjaan formal.
Banyak korban PHK akhirnya jatuh miskin setelah pesangon habis. Industri dalam negeri juga lemah dan membutuhkan dukungan pemerintah berupa insentif, transfer teknologi, dan perlindungan dari barang impor.
Untuk mengatasi kemiskinan struktural, Bhima menyarankan beberapa langkah. Pertama, menekan angka korupsi dalam anggaran pemerintah.
Kedua, mendorong industrialisasi padat karya untuk menciptakan lebih banyak lapangan pekerjaan. Ketiga, segera mengeluarkan kebijakan pajak kekayaan dan menghapus diskriminasi persyaratan kerja.
Indonesia perlu melakukan perubahan struktural untuk mengatasi kemiskinan. Ini membutuhkan komitmen kuat dari pemerintah, sektor swasta, dan masyarakat untuk menciptakan keadilan ekonomi dan kesempatan yang setara bagi semua. Tanpa itu, siklus kemiskinan akan terus berlanjut.
Leave a Comment