Kemiskinan struktural merupakan tantangan serius bagi banyak negara berkembang, termasuk Indonesia. Dampaknya meluas, terutama bagi masyarakat berpenghasilan rendah, yang salah satunya adalah akses terbatas terhadap layanan kesehatan. Kondisi ini menjadi fokus perhatian berbagai pihak, mendorong pencarian solusi yang efektif dan berkelanjutan.
Salah satu dampak paling signifikan dari kemiskinan struktural adalah terbatasnya akses terhadap layanan kesehatan yang berkualitas. Hal ini diungkapkan oleh mantan Direktur Kebijakan Penelitian dan Kerjasama WHO, Tikki Pang.
Akses Kesehatan Terbatas: Tantangan BPJS Kesehatan
Tikki Pang menekankan perlunya optimalisasi program BPJS Kesehatan untuk pemerataan akses layanan kesehatan di seluruh Indonesia. Saat ini, cakupan dan efektivitas BPJS Kesehatan masih belum optimal, termasuk masalah defisit pendanaan.
Program BPJS Kesehatan perlu diperluas jangkauannya hingga ke puskesmas-puskesmas di daerah terpencil. Fokus pendanaan tidak boleh hanya terpusat pada rumah sakit di kota besar. Hal ini dianggap sebagai langkah penting dalam mengurangi kemiskinan secara bertahap.
Kesehatan dan kemiskinan memiliki hubungan yang erat. Kemiskinan dapat menyebabkan penurunan kesehatan, dan sebaliknya, kesehatan yang buruk dapat memperparah kemiskinan. Pemahaman hubungan timbal balik ini krusial untuk merumuskan strategi penanggulangan kemiskinan yang efektif.
Upah Buruh Rendah Menghambat Akses Kesehatan
Rendahnya upah buruh juga menjadi penghambat akses terhadap layanan kesehatan. Presiden Aspek Indonesia, Mirah Sumirat, menjelaskan bahwa meskipun ada program BPJS Kesehatan, biaya iuran tetap menjadi beban bagi buruh berpenghasilan rendah.
Meskipun ada Penerima Bantuan Iuran (PBI), persyaratannya yang rumit membuat banyak buruh kesulitan mendapatkannya. Keterbatasan akses obat-obatan juga menjadi masalah tambahan yang dihadapi.
Perluasan Infrastruktur Kesehatan dan Redistribusi Kekayaan
Untuk mengatasi masalah ini, Tikki Pang menyarankan pemerintah untuk meningkatkan dan memperluas infrastruktur fasilitas kesehatan. Fokusnya bukan hanya pada fasilitas mahal, tetapi juga pada layanan yang terjangkau dan berkualitas, seperti peningkatan gizi dan vaksinasi.
Pemerintah perlu melakukan perubahan struktural untuk memberikan kesempatan yang lebih luas bagi masyarakat berpenghasilan rendah untuk mengakses layanan kesehatan yang cepat, berkualitas, dan terjangkau. Baik melalui BPJS Kesehatan maupun skema lain.
Ekonom Bhima Yudistira dari CELIOS mengidentifikasi empat penyebab utama kemiskinan struktural di Indonesia. Pertama, konsentrasi kekayaan di tangan segelintir orang, dimana kekayaan 50 orang terkaya setara dengan 50 juta orang lainnya.
Kedua, tingginya angka korupsi, terutama pada anggaran infrastruktur dan perlindungan sosial. Ketiga, melemahnya meritokrasi, sehingga pendidikan tinggi tidak menjamin terbebasnya keluarga dari kemiskinan akibat nepotisme dan praktik lainnya. Keempat, kurangnya redistribusi kekayaan yang jelas, termasuk absennya regulasi pajak kekayaan (wealth tax) dan regulasi untuk mencegah spekulasi tanah.
Bhima juga menambahkan bahwa modal Indonesia dalam mengatasi kemiskinan struktural belum dioptimalkan. Contohnya diskriminasi usia kerja yang membuat korban PHK sulit mendapatkan pekerjaan formal, serta lemahnya industri dalam negeri yang seharusnya didukung melalui insentif, transfer teknologi, dan perlindungan dari barang impor.
Kesimpulannya, penanggulangan kemiskinan struktural di Indonesia membutuhkan pendekatan multisektoral. Optimalisasi BPJS Kesehatan, peningkatan upah buruh, perluasan infrastruktur kesehatan, dan redistribusi kekayaan yang adil merupakan beberapa langkah kunci yang perlu diprioritaskan. Perhatian serius terhadap isu-isu seperti diskriminasi usia kerja dan dukungan terhadap industri dalam negeri juga sangat penting untuk menciptakan peluang ekonomi yang lebih merata dan berkelanjutan. Dengan upaya komprehensif dan terintegrasi, Indonesia dapat menapaki jalan menuju pengurangan kemiskinan dan peningkatan kesejahteraan masyarakat.
Leave a Comment