Bakteri penyebab demam tifoid semakin kebal terhadap antibiotik. Resistensi antibiotik ini menjadi ancaman serius bagi kesehatan global, khususnya di negara-negara berkembang.

Studi terbaru menunjukkan peningkatan pesat bakteri *Salmonella enterica* serovar Typhi (S Typhi) yang resisten terhadap berbagai jenis antibiotik. Hal ini mempersulit pengobatan dan meningkatkan risiko kematian.

Resistensi Antibiotik pada Bakteri Tifoid: Ancaman yang Meningkat

Antibiotik menjadi satu-satunya pengobatan efektif untuk tifoid. Namun, selama tiga dekade terakhir, resistensi bakteri terhadap antibiotik oral meningkat tajam dan menyebar luas.

Penelitian pada tahun 2022 mengungkapkan penyebaran cepat strain S Typhi yang resisten terhadap berbagai jenis antibiotik. Strain ini menggantikan strain yang tidak resisten dengan cepat.

Penyebaran Global *Extensively Drug-Resistant Typhi* (XDR Typhi)

Penelitian yang menganalisis 3.489 strain S Typhi dari Asia Selatan menemukan peningkatan signifikan kasus XDR Typhi.

Bakteri XDR Typhi resisten terhadap antibiotik lini pertama seperti ampisilin, kloramfenikol, dan trimetoprim/sulfametoksazol. Lebih mengkhawatirkan lagi, resistensi terhadap antibiotik yang lebih baru, seperti fluorokuinolon dan sefalosporin generasi ketiga, juga semakin meningkat.

Meskipun sebagian besar kasus XDR Typhi berasal dari Asia Selatan, penyebaran internasionalnya juga terdeteksi. Hampir 200 kasus penyebaran internasional teridentifikasi sejak tahun 1990, mencakup Asia Tenggara, Afrika Timur dan Selatan, bahkan negara-negara maju seperti Inggris, Amerika Serikat, dan Kanada.

Upaya Pencegahan dan Tantangan Ke Depan

Munculnya dan penyebaran cepat strain S Typhi yang sangat resisten ini menjadi perhatian serius. Langkah-langkah pencegahan perlu diperluas, terutama di negara-negara berisiko tinggi.

Pada tahun 2016, strain XDR Typhi pertama diidentifikasi di Pakistan. Pada tahun 2019, strain ini menjadi genotipe dominan di negara tersebut.

Pada awal tahun 2000-an, mutasi resistensi terhadap kuinolon telah mencakup lebih dari 85% kasus di Bangladesh, India, Pakistan, Nepal, dan Singapura. Resistensi terhadap sefalosporin pun mulai muncul.

Saat ini, azitromisin (makrolida) menjadi satu-satunya antibiotik oral yang masih efektif. Namun, potensi resistensi terhadap azitromisin juga menjadi kekhawatiran besar.

WHO memperkirakan 11-20 juta kasus tifoid setiap tahunnya, dengan 128.000-161.000 kematian. Asia dan Afrika menjadi wilayah dengan kasus terbanyak.

Di Indonesia, Riskesdas 2018 menunjukkan prevalensi demam tifoid mencapai 1,7%, dengan kelompok usia 5-14 tahun memiliki prevalensi tertinggi (1,9%).

Kesimpulannya, resistensi antibiotik pada bakteri tifoid merupakan ancaman serius yang memerlukan perhatian global. Penelitian lebih lanjut dan pengembangan strategi pencegahan dan pengobatan yang efektif sangatlah mendesak untuk mencegah peningkatan kasus dan kematian akibat demam tifoid di masa depan. Pemantauan dan peningkatan sistem kesehatan, terutama di negara-negara berkembang, juga krusial untuk menghadapi tantangan ini.

Bagikan:

Tags:

Leave a Comment